Lulus tahun dua ribu enam, alhamdulillah saat itu saya berkesempatan bekerja di sebuah perusahaan bertaraf Multi National Coorporation. Sekalipun bidang pekerjaannya sangat berbeda jauh dengan apa yang saya pelajari selama makan bangku kuliahan, namun saya tetap menjalani karena kesejahteraan yang didapat sungguh menggiurkan, diatas rata-rata pendapatan sarjana baru lokal pada tahun tersebut.
Sebagai lulusan dari PTN ternama di tanah air yang masuk secara PMDK, lulus hanya dalam waktu tiga setengah semester, dan memiliki latar belakang organisasi jua prestasi yang mumpuni, harus diakui saat itu saya menjadi manusia yang angkuh. Melejitnya prestasi saya diperusahaan semakin membuat saya lupa diri, sebagai anak baru bahkan seringkali saya mengkritik langsung dan memarahi atasan yang bisanya hanya menyuruh dan minim produktifitas.
Sebagai lulusan dari PTN ternama di tanah air yang masuk secara PMDK, lulus hanya dalam waktu tiga setengah semester, dan memiliki latar belakang organisasi jua prestasi yang mumpuni, harus diakui saat itu saya menjadi manusia yang angkuh. Melejitnya prestasi saya diperusahaan semakin membuat saya lupa diri, sebagai anak baru bahkan seringkali saya mengkritik langsung dan memarahi atasan yang bisanya hanya menyuruh dan minim produktifitas.
Tak lama saya bertahan, kemudian saya bergonta-ganti perusahaan dengan kebiasaan yang tidak berubah: Memarahi atasan karena merasa diri diperdayakan bukannya diberdayakan. Di sebuah Bank Swasta international saya pernah memaki langsung manager saya yang klemar-klemer dan menganggapnya tidak becus mengelola tim. Di perusahaan food beverages nasional, saya mendamprat manager logistik karena dengan seenak congornya di kantor memaki tim saya sebagai kumpulan monyet. Aduhai sungguh saat itu saya super duper angkuh dan berpikir pendek.
Kekurangan diri saya yang paling parah adalah sifat angkuh. Hingga kini saya menyadari, meski berkurang sedikit demi sedikit keangkuhan dalam diri, namun hal tersebut masih sering saja muncul terutama jika terkait pekerjaan. Menurut rekan-rekan yang berkecimpung dalam dunia optimasi diri berdasarkan pada mesin kecerdasan tunggal (STIFIn), saya ini termasuk Thinking, yang memang termasuk manusia terangkuh yang diciptakan Tuhan di muka bumi. Dan saya pun menyadari keangkuhan tersebut merupakan ujian terbesar bagi saya dalam menyempurnakan iktiar diri, meraih kesuksesan dan berbagi kemuliaan.
Akhirnya setelah belajar dan banyak berkonsultasi, minimal saat ini saya mendapat formulasi sederhana agar keangkuhan tersebut tidak menjadi dominan dan merusak kehidupan. Formula pertama merupakan adaptasi dari ilmu optimasi STIFIn. Terkait produktifitas saya akan mengedepankan sisi akurasi, efektif, dan tidak mudah puas, hal ini akan membuat saya memberikan yang terbaik dalam hidup berbagi.
Formulasi kedua terkait dengan interaksi sosial, saya tidak ingin terjebak dan mengafirmasi stigma bahwa orang seperti saya "harus" angkuh. Oleh karenanya saya bersyukur bisa mengadopsi Ilmu Quran "Setiap kebaikan yang dilakukan meski seberat biji zarah akan mendapat imbalan. Begitupun setiap keburukan yang dilakukan meski seberat biji zarah akan mendapat imbalan". Nah prinsip ini ngena banget kan, bila ndak mau dipukul ya jangan mukul, bila mau diberi senyum yah harus senyum terlebih dahulu. Intinya perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Formula kedua membuat saya nyaman untuk berbagi hidup (berbagi kebermanfaatan).
Alhamdulillah, ketika saya mengamalkan kedua formula diatas, saudara saya semakin banyak karena shilah too rahim. Karena shilah too rahim kuat, rezeki sayapun meningkat, serta meningkat pula kemampuan saya untuk berbagi manfaat. Daripada menabur angkuh dan menabung dendam, lebih baik menjadi manusia yang luruh (rendah hati) dan menggembirakan.
Mari hidup berbagi, berbagi hidup
-aeplopyu [I Love U]-
-------------------------------------------
Ingin berbincang & bersama-sama guyu? Cukup klik kitik si burung biru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar