Selasa, 16 Oktober 2012

Undur-Undur Yang Tak Lagi Berjalan Mundur

Beberapa kali si undur-undur mencoba keluar dari persembunyiannya dibawah tanah untuk sekedar menikmati kecupan mentari. Namun tiap kali itu pula dia harus kembali bersembunyi dikarenakan dirinya merasa mentari terlalu tajam bagi dirinya yang lemah. Lagi-lagi dia memilih untuk berjalan mundur kembali ke persembunyiannya.

Perlahan seiring berjalannya waktu. Setelah genap kemantapan hati dan kebijaksanaan dalam bertindak. Setelah cukup dirinya bersembunyi di lubang pertapaannya yang gelap, ia memutuskan untuk mencoba kembali. Hanya saja, tetap saja ia berjalan mundur layaknya undur-undur.

Detik berganti menit, dan begitu seterusnya ia kembali ke rutinitas jalan mundurnya. Hingga pada suatu saat ia berpikir akan sampai kapan dirinya harus menjadi undur-undur yang berjalan mundur ?

"apakah aku harus terus mundur seperti ini...?",
"adakah yang mampu ku lakukan agar aku bisa menikmati nyaman mentari yang tak menjahati tubuhku. Adakah cara agar aku bisa melaju menuju kepadanya dalam lembut belaian sang udara...?" asanya bertanya dalam hati.

ternyata ia bersungguh dalam ketetapan hati dan berupaya agar hal tersebut tak hanya menjadi belaka angan. Penuh dengan kesantunan hati dan kebersahajaan tindak, dia sepenuh berusaha belajar, menanam, dan menyemai cinta.

Denting waktu berlalu sebagaimana biasa. Hingga pada suatu hari Tuhan mengabulkan doanya.

Entah kenapa hari itu ia merasakan kelelahan yang amat sangat. Tubuhnya terasa begitu rapuh tak menggeliat terbalut sesuatu yang sangat mengungkungnya erat. "Ah..mungkin ini memang sudah waktuku.." kesahnya menerima kejanggalan tersebut. Dan si undur-undur pun hilang dalam kealpaan....

Ternyata si undur-undur bukan dijemput untuk pulang kepada Sang Tuhan. Dan ketika dia tersadar dia begitu kaget mendapati dirinya diatas genangan kecil dimana dia bergantung pada suatu ranting. "Siapakah dia yang terus memandangiku dengan aneh ?". Dia mencoba menyentuhnya dan mendapati bahwasanya itu adalah dirinya sendiri.

Aduhai ternyata dia belum mati. Tuhan memberikan kesempatan kedua dalam metamorfosis hidupnya. Kini ia menjelma menjadi serangga bersayap dan merasakan betapa dirinya merasa begitu ringan. Wujudnya kini memang tak seelok kupu-kupu yang rupawan. Juga tidak memiliki ketangguhan seperti capung, Sang Naga di dunia serangga. Tapi dia memiliki wujud baru, lebih kecil dari capung, namun punya corak yang tidak kalah elok dari Sang kupu-kupu.

Dalam hati ia bergumam penuh rasa haru, "terima kasih Tuhan telah memberiku kesempatan kedua dan membekaliku dengan wujud yang baru. Kini aku tak akan takut lagi menatap matahari, bahkan kini aku benar-benar nyaman menikmatinya dalam lembut belaian udara"

Kini undur-undur itu tak lagi harus berjalan mundur.
***
--Berlarilah menghadap matahari maka bayangan akan mengikutimu. Sebab, bila engkau membelakangi matahari, bayang-bayanglah yang kan engkau kejar.--
[Ibn A'thailah dalam Al Hikam]

Tidak ada komentar: