Selasa, 16 Oktober 2012

Memoar Cinta Untuk Si Sorban Merah

Saya mendapatkannya saat usia menginjak bangku kelas dua es-em-u. Pak harso, begitu saya biasa menyapa pembimbing agama, mengamanahkannya sebagai sahabat dalam menyusuri jalan cinta Sang Maha Terkasih. Dialah si sorban merah sederhana yang biasa terselempang di pundak kanan guru saya itu, dan kelak bahkan selamanya akan menjadi sahabat terbaik dalam kesegalaan keadaan diri saya.

Jangan anda bayangkan bahwasanya ia terbuat dari kain nan lembut pun kehalusan sutra. Tidak pula rajutan dan pilinan yang indah. Ia hanyalah kain dengan sablonan cetak jua bertekstur kasar, yang mudah menjadi compang nan camping, serta sobek sana dan sini selayaknya kain murah nan usang.

Meskipun demikian, semenjak itu saya selalu menjadikannya sejawat tererat yang bahkan mengalahkan kesemuaan pakaian yang pernah melekat.

Ia selalu setia menuntun bodoh hati dalam menuju arah Tuhan. Ia memberikan kelembutan saat kefanaan dunia menyapa dengan kasar. Ia meneduhkan saat mentari terasa berlaku terlalu kejam. Ia membasuh saat  saya terasa begitu sangat rapuh.

Hadirnya membuat mengerti akan apa itu arti diri. Kesegalaannya membuat kesemuaan menjadi terutuh. Begitu banyak rayuan rindu telah saya bisikkan dan semoga tersampaikan pada-Nya. Begitu tak terhitung peluh perjuangan terbasuh demi meraih kasih-Nya.

Kala lelah ia membentang memberikan hantaran kasih sayang. Kala rindu ia terjembar melembutkan kalbu yang liar tersasar. Kalah resah ia terteduh mengusap kepala meredakan segala amarah. Kala sedih ia setia menghamparkan diri, menjadi labuhan bagi tiap tetes air mata hingga mampu meredakan semua duka.

Dalamnya tersimpan banyak doa mengiba cinta. Padanya banyak air mata pengharapan, tempat segala kesedihan tertetirah. Ia sahabat terbaik yang selalu setia mendampingi asa. Guru kesederhanaan dalam meraih kasih nan tersahaja.

Sembilan tahun sudah ia mendampingi dan menjadi buni-buni pengharapan. Kini di pusara si mbah, saya titipkan ia bersama kesalehan jiwa terkasih. Semoga semua air mata kasih, seluruh doa cinta dan peluh juang penghambaan diri, mampu mewujud pengabdian seorang anak manusia untuk menjadi saleh bagi sosok terkasih yang kini tenang meninggalkan kefanaan dunia.

Aduhai sorban merah, sahabat jua guru terkasih. Kini dampingilah si mbah dengan kesederhanaan cinta yang tersimpan dalam wujudmu. Hangatkan ia kala dingin malam menusuk. Teduhkan ia kala panas membakar.

Kelak bila tiba waktu, semoga engkau masih berkenan untuk mengenali, kawan perjalanan yang banyak berhutang budi cinta karena hadirmu.

Tidak ada komentar: