Sabtu, 10 November 2012

Pahlawan Senyum

Setiap kali melihat foto ini saya akan selalu menangis haru. 12 Desember 1995 beliau datang dan saya resmi memanggilnya Papa. Sekalipun beliau bukan tipikal orang tua yang romantis, namun saya akan selalu mengingat tiap momen berharga bersamanya, sebuah momen kepahlawanan kasih sayang ayah pada anaknya. Sekalipun kami (saya dan adik) bukanlah darah daging biologisnya.

Setiap pagi menyusuri Bekasi - Jakarta, Papa akan mengantar kami sekolah berboncengan tiga. Panas maupun hujan menapaki maisyah, kembali datang menjemput kami sore harinya. Dan Papa akan selalu tersenyum menyembunyikan rasa lelah.

Suatu kali seusai pulang sekolah, saya menyertai beliau berbelanja knalpot truk raksasa. Ukurannya hampir sama dengan besar motor Yamaha Alfa, membawa dua knalpot raksasa yang diikat disamping serta membonceng tubuh kecil saya yang terhimpit sakit di belakang, kami menyusuri jalanan asam reges - kramat jati yang penuh dengan lobang. Sesampainya disana bukan bayaran yang didapat, melainkan makian dari sang kepala seksie yang terus mengumpat. Dan Papa tersenyum menyembunyikan rasa sedih.

Tahun 2007 ketika tsunami ujian datang dan membuat saya lumpuh, Papa setia telaten merawat saya dengan sungguh. Pun ketika saya sudah mulai sembuh, Papa selalu mendukung saya untuk kembali menjadi lelaki tangguh. "Jangan terpuruk pada penyakit, justru itu yang akan membuat hidupmu semakin sulit" Dan Papa akan tersenyum simpul, menyembunyikan berat beban yang terkumpul.

Duhai pahlawan senyum yang sepanjang hayat selalu membuat kagum. Saya adalah darah dagingmu, karena dengan senyum dan lelahmu saya tumbuh.

- aeplopyu pa -


Tidak ada komentar: